Prihatin, Saat Media Jadi Korban Amnesia Nasional di Balik Sukses Mudik 2025

Daerah4134 Dilihat

Jakarta,
koranpemberitaankorupsi.id

Indonesia baru saja menutup salah satu episode besar migrasi Tahunan: mudik dan balik Idul Fitri 2025. Jutaan orang berpindah tempat, jutaan kisah mengalir. Semua tampak sukses dan terkendali. Polisi dipuji, menteri dielu-elukan, bahkan jalur Tol pun seolah diberi medali. Tapi di tengah pesta pujian itu, ada Satu elemen yang diam-diam dilupakan: media.

Tak satu pun institusi—bahkan Dewan Pers sekalipun—menyebut peran penting para jurnalis dari seluruh pelosok negeri. Mereka yang bekerja siang-malam, menyampaikan informasi terkini soal titik kemacetan, jadwal buka-tutup jalan, lokasi Posko Kesehatan, jalur alternatif, dan banyak informasi penting lainnya, justru tak dilirik sama sekali.

Dewan Pers? Maaf, lebih cocok disebut Dewan Pecundang Pers. Alih-alih membela, mereka kini sibuk menjilat dan jadi tim hore institusi lain. Fungsi utamanya sebagai pengayom dan pembela kepentingan Pers Nasional tampaknya sudah berganti jadi pembaca naskah seremoni, menunggu aba-aba dari pemangku kekuasaan.

Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menjadi Satu-Satunya tokoh yang menyuarakan hal ini dengan tegas. “Kami memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada para jurnalis yang telah bekerja luar biasa selama arus mudik dan balik Tahun ini. Tanpa mereka, publik akan gelap informasi,” ujarnya melalui pesan WhatsApp ke jaringan media, Minggu, 14 April 2025.

Menurut Lalengke, tak hanya aparat atau menteri yang bekerja, masyarakat pun ikut berperan besar, terutama mereka yang memilih menggunakan transportasi umum. Perubahan kultur mudik ini adalah hasil dari edukasi kolektif—dan media adalah motor utamanya. Tapi ironisnya, media justru tidak dianggap sebagai bagian dari kesuksesan.

“Sukses mudik ini adalah kerja kolektif. Tapi Negara tampaknya sedang mengalami amnesia selektif: hanya mengingat yang berseragam, melupakan yang berpena,” lanjut tokoh Pers Nasional itu.

“Kini pertanyaannya, sampai kapan profesi jurnalis akan terus dimanfaatkan saat dibutuhkan, tapi dicampakkan saat momen selebrasi? Apakah fungsi Pers hanya sebatas menyebar rilis dan siaran Pers tanpa mendapatkan secuil pun pengakuan?

Dewan Pers harus segera berkaca. Jika tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai penjaga marwah jurnalistik, lebih baik bubarkan diri atau ubah nama jadi “Dewan Pemuja Kekuasaan”. Biarkan Pers yang sesungguhnya berdiri sendiri, tanpa perlu basa-basi dari lembaga yang kehilangan arah.

Respons keras pun bermunculan dari para jurnalis dan pekerja media di berbagai daerah. Mereka geram melihat absennya penghargaan terhadap kontribusi Pers dalam momentum nasional seperti mudik dan balik Lebaran 2025 ini.

Rian Wahyudi,” jurnalis senior dari Sumatera Selatan, menulis di akun medianya, “Kami ini bukan makhluk gaib yang tiba-tiba bikin informasi tersebar ke mana-mana. Di balik setiap update jalan Tol dan buka-tutup jalur, ada keringat jurnalis lapangan. Tapi ketika semua selesai, kami dianggap angin lalu.”

Maya Pratiwi,” reporter media daring di Jawa Tengah, menyebut Dewan Pers sebagai institusi yang ‘kehilangan nyali’. “Bukannya berdiri di depan membela profesi, mereka justru tenggelam dalam euforia tepuk tangan untuk institusi lain. Kalau begini, siapa yang menjaga martabat jurnalis?” ujarnya.

Damar Adityo,” Redaktur dari Kalimantan Timur, mengatakan bahwa fenomena ini bukan baru. “Setiap kali ada peristiwa Nasional, peran Pers selalu dianggap pelengkap. Tapi begitu masuk agenda penghargaan, media dilupakan. Ini penyakit sistemik. Dan Dewan Pers? Diam saja,” sesal Damar.

Sementara itu, Rita Andani,” jurnalis independen di Sulawesi Selatan, menyentil keras narasi sepihak yang terlalu mengkultuskan aparat. “Media mempermudah tugas Negara, tapi Negara bahkan tak sudi menoleh. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini penghinaan terhadap profesi,” katanya tegas.

“Tanggapan-tanggapan ini menunjukkan bahwa di balik wajah tenang media, ada bara yang menyala. Para insan Pers menuntut bukan hanya pengakuan, tapi juga perlakuan yang setara dan hormat dari Negara dan lembaga-lembaga yang seharusnya berdiri untuk mereka.

“Jika penghargaan hanya diberikan kepada yang berseragam, maka jangan salahkan bila suatu hari nanti yang memegang mikrofon dan kamera berhenti peduli. (Tim/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *